Islam dan Ilmu
Pengetahuan
Tradisi
Keilmuan dalam Islam
Islam
merupakan agama terakhir yang risalahnya disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW
yang tidak tertutupi oleh dongeng dan khayal. Islam sangat menjungjung tinggi
posisi ilmu pengetahuan. hal ini dapat terlihat dari wahyu Allah pertama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad adalah “Bacalah!”.
Lebih jauh lagi dalam Al-Qur’an terdapat banyak bersisi pertanyaan seperti: “Apakah kalian tidak berfikir?” (Afalaa
tatafakkarun”), “Apakah kaliah tidak berakal?(Afalaa ta’qiluun)”, serta banyak
lagi ayat Al-Qur’an dan Hadits yang
lainnya yang mewajibkan kepada kaum muslimin untuk menuntut ilmu. Menurut Dr. Ahmad Amin, seorang guru
besar sastra Universitas Al-Qahirah (Poeradisastra 12:2008), “pada awal
kemunculan Islam hanya ada tujuh belas orang suku bangsa Quraisy yang pandai
baca-tulis”. Hal ini menunjukan bahwa pada masa tersebut keadaan masyarakat
arab sangat jahiliyyah, ilmu
pengetahuan belum “mendapatkan” tempat di masyarakat.
Setelah
Muhammad diutus menjadi nabi, beliau
menganjurkan kepada sahabat dan kaum muslimin untuk belajar membaca dan
menulis, diantaranya Aisyah (Istri Nabi Muhammad), Zaid bin Tsabit (yang
diperintahkan untuk mempelajari bahasa Ibrani dan Suryani) serta lebih jauh
lagi budak-budak belian dibebaskan apabila mereka telah mengajar sepuluh orang
Muslimin membaca dan menulis. Selain itu, untuk keperluan menda’wahkan Islam,
maka nabi Muhammad mengembangkan gerakan untuk “baca-tulis” yang pada masa itu
belum pernah dilakukan sebelumnya (oleh kaum Quraisy), sehingga kepandaian
baca-tulis tidak lagi hanya milik kaum cendikiawan, tetapi seluruh kaum Muslim.
Hal ini merupakan tonggak awal gerakan ilmu secara besar-besaran yang dilakukan
oleh Nabi Muhammad. Dalam waktu-waktu
kemudian tradisi keilmuan yang diwariskan oleh Nabi Muhammad dilanjutkan pada
masa Khulafaur Rasyidin, begitu juga pada masa selanjutnya yaitu pada masa
Daulah Umayah dan Abbasyiah.
Tradisi
Keilmuan pada masa Daulah Umayyah dan Abbasiah
Seiring dengan daerah
kekuasaan Islam semakin bertambah, mencakup berbagai suku bangsa, Ras, dan
bahasa dengan penduduknya di samping yang telah memeluk Islam, masih menganut
agama-agama Yahudi, Kristen, kafir Yunani dan Romawi, Zoroaster, Manes, dan
Hindu serta kebudayaan Mesir (Kopti/Qibthi dan Nubia), Turki, dan Parsi. Oleh
karena itu, berbagai bahasa, sistem tata
negara, kebudayaan, dan sejarahnya mesti dipelajari untuk dapat menjalankan
ketatanegaraan, hukum serta penyebaran agama Islam secara jitu. Dalam pertemuan
dengan keanekaragaman dan untuk membela Islam dan sisa-sisa agama dan
kepercayaan lain itu, kaum Muslimin mulai mempelajari dan mengembangkan
filsafat Yunani, tetapi terlebih dahulu membersihkannya dari kekufuran. Untuk itu
dirintis penerjemahan karya-karya filsafat dan pengetahuan Yunani melalui
bahasa Suryani karena aslinya telah musnah terbakar di perpustakaan-perpustakaan
di Iskandariah ketika penyerbuan Julius Cesar (tahun 48 Pra-Masehi), kemudian
oleh Kaisar Lucius Domitius Aurelianus (272 Masehi) dan oleh Jendral Theodosius
(371 Masehi).
Pada
masa Daulah Abbasiah, tradisi keilmuan kaum Muslimin dilanjutkan, diantaranya
pada masa Khalifah Abu Ja’far Abdullah Al-Manshur(735-775M) telah dipekerjakan
para penerjemah untuk menterjemahkan buku-buku kedokteran, ilmu pasti, dan
filsafat dari bahasa Yunani, Parsi dan Sanskrit. Pada masa kekhalifahan Al-Maimun
bin Harun Al-Rasyid (813-832 M) didirikan Darul Hikmah/akademi Ilmu Pengetahuan
pertama di dunia yang terdiri dari perpustakaan, pusat pemerintahan,
observatorium bintang, dan Universitas. Bahkan Fakultas Kedokteran telah
didirikan oleh Jurjis bin Naubakht pada tahun 765. Selain itu Al-Maimun
mengirim para penerjemah ke Konstantinopel, Roma dan lain-lain untuk memilih
buku-buku pengetahuan yang belum dipunyai oleh Umat Islam yang kemudian dibawa
ke Baghdad untuk diterjemahkan, diteliti dan dikembangkan. Maka lahirlah ilmu
pengetahuan dari kalangan Islam sendiri, baik yang bersifat memperkaya
karya-karya asing yang telah ada maupun yang sama sekali baru ditemukan oleh
Umat Islam.
Akhirnya pembangunan Ilmiah Islam
disempurnakan oleh kekuasaan Islam di Andalusia dan Spanyol dari tahun 719M
sampai jatuhnya Granada tahun 1492M yang kemudian melahirkan kemajuan-kemajuan
dalam berbagai disiplin Ilmu pengetahuan. Ilmuan Muslim yang bertolak ukur dari
tauhid menganggap hukum-hukum alam sebagai Sunnatullah
yang objektif,tertib dan teratur. Mereka
tidak me-rancukan kepercayaan dengan dengan metode pembahasan ilmiah atau
memutarbalikan fakta-fakta. Segala kesimpulan objektif yang telah ditelaah
tidak pernah sekalipun bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadits. Bahkan
Al-Qur’an selalu memperkuat hasil-hasil penelitian ilmiah. Sayyed Hossein Nasr
Ph.d (Harvard University)
mengemukakan, “ilmu pengetahuan Islam
menjadi ada dari suatu perkawinan antara semangat yang memancar dari wahyu
Allah dan ilmu-ilmu yang ada dari berbagai peradaban yang diwarisi Islam dan
yang telah diubah melalui daya tenaga rohaninya menjadi sebuah zat yang baru.
Sifat internasional dan cosmopolitan peradaban Islam dan terpantul dari
peredaran keilmubumian dunia Islam sehingga memungkinkan Islam menciptakan ilmu
pengetahuan pertama yang benar-benar bersifat internasional dalam sejarah Umat
Islam….” (Poeradisastra 18:2008).
Kebohongan
Sejarah: Islam Penemu Metodologi Ilmu
Tertarik
oleh metode ilmiah Islam, seorang frater Katolik Roma anggota ordo Fransiskan
dari Inggris bernama Roger Bacon (1214-1292 M) datang untuk mempelajari bahasa
Arab ke Paris dan Toledo. Banyak terjemahan buku ilmiah Islam ke dalam bahasa
latin di sana dan terdapat pula naskah-naskah asli dalam bahasa Arab. Bermodalkan
bahasa Arab, Roger Bacon mempelajari ilmu pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam,
begitu juga banyak orang-orang Kristen lainnya. Antara tahun 1250-1257 M ia
pulang dan melanjutkan pelajaran bahasa Arabnya di Universitas Oxford dengan
membawa banyak buku-buku ilmiah Islam di Paris, diantaranya: Al-Manazhier karya Ali Hasan ibn Haitsam
(965-1038 M) yang kemudian diterjemahkan oleh Bacon kedalam bahasa Latin
(bahasa ilmiah Eropa pada waktu itu). Terdapat keterangan-keterangan mengenai
mesiu dan mikroskop dalam naskah-naskah tersebut. Bacon secara tidak jujur
telah mencantumkan namanya sendiri pada terjemahan itu dan dengan demikian
demikian melakukan plagiat terang-terangan. Hal itu sangat berbeda dengan
tradisi umat Islam yang selalu mencantumkan nama-nama pengarang aslinya ketika
menerjemahkan karya-karya Pythagoras (530-495 SM), Plato (425-247 SM),
Aristoteles (388-322 SM), Aristarchos (310-230 SM), dan lain-lain.
Kira-kira empat abad kemudian, seorang Inggris
lainnya bernama Francis Bacon (1561-1627 M) menyebarluaskan Teori Induksi dan
percobaan-percobaan (Experiments)
ilmiah atau empirisme ilmiah di dalam karya-karyanya The Advancement Of Learning (1605 M), Novum Organum (1620 M), De
Augmatis Scientiarum (1623 M), Sylva
Sylvarum (1624 M) dan New Atlantis
(1624 M). Berkat adanya penemuan cetak buku oleh Johan Gotenburg (1450 M),
buku-buku tersebut dicetak yang kemudian ilmu pengetahuan dan teknologi
berkembang pesat di Barat. Maka sejak itulah Francis Bacon disebut sebagai
penemu metode Ilmiah. Demikianlah kondisi dunia Barat yang buta mengenai
asal-usul metode ilmiah yang sebenarnya berasal dari ilmuan Islam.
Robert
Stephen Briffault (1876-1948 M) salah seorang ilmuan Barat mengatakan, “Roger Bacon maupun kemudian teman senamanya (Francis bacon)
tidak mempunyai hak untuk dipuji karena telah memperkenalkan metode percobaan.
Roger Bacon tidak lebih hanya seorang utusan dari ilmu pengetahuan dan metode
Muslim kepada orang Eropa Kristen…perbincangan-perbincangan mengenai siapa
pengasal metode percobaan merupakan bagian salah tafsir raksasa mengenai
asal-usul peradaban Eropa…”. Hal ini menujukan pengakuan ilmuan Barat yang
jujur terhadap ilmuan Islam.
Sumbangan
Islam terhadap Ilmu pengetahuan Modern
Banyak
sekali sumbangan ilmuan Islam terhadap ilmu pengetahuan modern. Dalam Ilmu
Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam, Islam menyumbangkan ilmu hitung berupa
angka-angka yang di Eropa masih disebut angka-angka Arab meskipun bentuknya
sudah diubah. Selanjutnya adalah asas Algorisme, yaitu sistem hitungan nilai
angka menurut tepat dari kanan ke kiri: satuan, puluhan, ratusan, ribuan dan
seterusnya serta sistem persepuluhan (decimal)
yang pada angka-angka Romawi tidak mempunyai angka nol dan tidak cocok untuk
dipakai bagi sistem persepuluhan dengan angka-angka dibelakang koma. Perintis
ilmu pasti Muslim adalah Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi (194 H/780 M). Bukunya
Al-jabr wal Muqabala (pengutuhan
kembali dan perbandingan) dalam terjemahan latinnya (Liber Algoritum) merupakan rangsangan kepada ilmu pasti Eropa abad
pertengahan. Dari sinilah asalnya istilah algebra
di dalam bahasa Eropa. Abu Abbas Al-Fadzal Hatim Anniraizi telah membuat
Planetarium yang ketepatannya diakui oleh angkatan seabad kemudian. Selanjutnya
Abu Raihan ibn Ahmad Al-Biruni yang membahas tentang sinar, warna-warni (Colorite) dan optika. Ia mengoreksi
pendapat Euclides dan ptolomeus yang keliru bahwa benda menjadi terlihat karena
mata memancarakan cahaya kepada benda, Ia menegaskan bahwa yang terjadi justru
sebaliknya. Selanjutnya lagi Umar Khayyam yang menurut Isaac Asimov (ilmuan
Barat) menjadi orang pertama yang menggarap sudut-sudut lurus sebuah persegi
khas di dalam kaitan dengan dalil Euclides. Dalam bidang mekanika,
ilmuan-ilmuan Muslim telah mengenal hukum jatuhnya benda (Gravitasi) dan ilmu
gerak, jauh sebelum Isaac Newton (1642-1727 M). Pusat farmasi terbesar berada
di berbagai wilayah Islam, terutama di kota akademik Baghdad dan Kurthubah
(Cordova). Ilmuan Islam-lah yang pertama menggunakan tabung percobaan (Test
Tubes). Selain itu kaum muslimin merupakan pembuat dan pemakai sabun bersama
minyak wangi pertama yang baru dikenal oleh orang Barat sejak perang
salib.
Dalam
ilmu bumi, Muhammad Asysyarif Al- Idrisi (110-1166 M) berhasil melukiskan
dengan tepat letak permukaan bumi secara ilmu bintang. Selain itu Al-Biruni
yang berhasil menetapkan garis Lintang dan Garis bujur Bumi secara tepat. Dalam
bidang kedokteran Abu bakar Muhammad ibn Zakariyya Arrazi (di Barat dikenal
dengan nama Razes) merupakan penemu Air Raksa. Selain itu ia orang yang pertama
mendiagnosis penyakit cacar dan membedakannya antara cacar air (variola) dan cacar merah (Rougella). Penerusnya adalah Syaikh Abu
Al-Husyain ibn Sina (di Barat dikenal dengan Avicenna) yang pertamakali
menunjukan peranan udara bagi penularan penyakit, selain itu ia-pun perintis
peneliti penyakit syaraf (Neurasthenia).
Dalam ilmu Sejarah dikenal Al-Maqrizi yang dianggap sebagai penulis sejarah
yang paling objektif, sekalipun ia menulis raja yang masih berkuasa, ia menulis
secara objektif padahal sejarah sejaman (I’histoire
contemporaine, contemporary historie) merupakan hal tersulit bagi seorang
penulis sejarah untuk tidak memihak (non
partisan). Namun yang paling terkenal di Barat adalah Ibn Khaldun. Ia
menulis sebuah pengantar yang dalam terjemahan latinnya lebih dari 500 halaman.
Dalam pengantar buku tersebut (Muqadimah)
ia menerangkan kaidah-kaidah yang dipakainya dalam meneliti sejarah. Sejarah
tidak boleh hanya sekadar menyampaikan kisah-kisah, masuk akal atau tidak, cara
spekulatif-metafisika seperti pada mitos dan dongeng. Dengan demikian ia
menjadi konseptor pertama penulisan sejarah (Historiografi) modern serta ia lebih
besar dari George W.F. Hegel, Benedetto Croce maupun Arnold J. Toynbee.
Apa
yang diungkapkan diatas merupakan sebagian kecil dari jutaan sumbangan ilmuan
Muslim terhadap ilmu pengetahuan modern. Kenyataan sekarang, masih sangat
banyak ilmuan Muslim beserta hasil karyanya yang belum banyak diketahui oleh
kalangan Muslim sendiri. Lebih ironis lagi dalam pembelajaran di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi di Indonesia sangat sedikit sekali diungkapkan
fakta sejarah yang sebenarnya mengenai sumbangan Islam dan ilmuan Muslim
terhadap ilmu pengetahuan modern sehingga kebohongan sejarah secara
terus-menerus tidak terungkap. Wallahu A’lam
bis-Shawab.
Oleh :
Fadli Roby S.Pd
Guru Mata Pelajaran Sejarah di Pesantren
Persatuan Islam no 31 Banjaran Kabupaten Bandung.